UNIKNYA TRADISI SUKU DANI
Sebagai
negara yang terkenal dengan kemajemukannya atas keragaman suku bangsa, budaya,
agama serta adat istiadat, membuat Indonesia kaya sekali akan kebudayaan
nasional. Tak terlebih dengan berbagai macam suku bangsa yang diketahui
memiliki ciri khasnya masing-masing. Kebudayaan yang mereka miliki merupakan
kebudayaan yang sudah ada dari generasi ke generasi. Kebudayaan tersebut akan
tetap ada secara turun temurun dan berlangsung secara terus menerus apabila dijaga dan dilestarikan.
Papua sebagai salah satu pulau dengan wilayah terluas di Indonesia, terdiri atas bermacam-macam suku yang masih memegang erat adat istiadat maupun tradisinya tanpa ada pengaruh dari budaya asing. Sebut saja suku Asmat, suku Biak, suku Sentani dan juga suku Dani yang merupakan penduduk asli pulau Papua. Berbicara mengenai kebudayaan di suku-suku papua, suku dani punya cerita dan ciri khas sendiri, baik dari segi tradisi maupun bahasanya yang berbeda dari suku lainnya.
Nama Dani sendiri
sebenarnya bermakna orang asing, yaitu berasal dari kata Ndani, tapi karena ada
perubahan fonem "N" hilang dan menjadi Dani saja. Suku Dani sendiri sebenarnya
lebih senang disebut suku Parim. Suku ini sangat menghormati nenek moyangnya dengan
penghormatan mereka biasanya dilakukan melalui upacara pesta babi.
Mitos menceritakan bahwa orang pertama/ manusia pertama suku Dani bernama Pumpa (Pria) dan Nali nali(Wanita) yang masuk ke Lembah Baliem dari arah timur melalui sebuah Goa. Ada beberapa sumber yang mengatakan Goa pertama tempat keluarnya manusia pertama ini berasal dari Goa Kali Huam (Daerah Siepkosy), ada pula yang mengatakan dari Goa di Daerah Pugima dan sebagian mengatakan bahwa keluarnya Manusia pertama suku dani ini berasal dari dari Pintu masuk angin di daerah Kurima.
Ada beberapa keunikan suku dani yang dapat dilihat dari rumpun bahasanya secara aktif dituturkan oleh Suku
Dani dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan rumpun bahasa Dani telah dianggap
sebagai bahasa pengantar di wilayah pegunungan tengah, sekitar Kabupaten
Jayawijaya dan sebagian Kabupaten Puncak Jaya yang mendiami Lembah Baliem. Bahasa suku ini dipecah menjadi 3 sub keluarga bahasa di
antaranya: Sub keluarga Dani (Pusat logat dani lembah besar dugawa dan logat dani barat), Sub keluarga Wano di Bokondini, dan Sub keluarga
Dash.
Kebiasaan unik lainnya dari suku dani sendiri adalah kebiasaan mereka
mendendangkan nyanyian-nyanyian bersifat heroisme atau kisah-kisah sedih
untuk menyemangati dan juga perintah waktu mereka bekerja. Alat
musik yang mengiringi biasanya menggunakan alat musik pikon yakni satu alat yang diselipkan diantara lubang hidung dan
telinga mereka. Disamping sebagai pengiring nyanyian, alat ini pun berfungsi
ganda sebagai isyarat kepada teman/lawan di hutan kala berburu.
Suku dani memiliki ciri yang sangat khas sekali seperti penghuni antara laki-laki (Honai) dan perempuan (Ebai) rumahnya terpisah, masih memiliki kepercayaan dalam menghormati arwah nenek moyang, tradisi memotong jari ketika ada salah satu kerabat yang meninggal, menerapkan tradisi pernikahan poligami, mengenakan pakaian tradisional yang terbuat dari anyaman bambu, akar, ilalang, atau kulit kayu, dan mata penghasilan masyarakat suku dani adalah beternak babi.
Rumah adat suku dani dengan kaum laki-laki (Honai) dilihat dari ukurannya yang mungil berbentuk bundar, dibangun dari dinding kayu dan beratapkan jerami. Rumah dengan ukuran mini tersebut mustahil bagi seseorang dapat berdiri di dalam, jarak antara lantai ke langit-langit rumah tidak sampai 1 meter dan tanpa perabotan apapun. Selain sebagai tempat tinggal Honai juga digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian dan ada pula yang melakukan pengasapan mumi terdapat di desa Aikima dan Keluru. Sedangkan untuk kaum perempuan (Ebai) mereka memiliki rumah dengan karakter berbentuk persegi panjang tanpa perabotan sama sekali di dalam rumahnya. Rumah-rumah tersebut tersebar di semua sudut Lembah Baliem yang memiliki luas sekitar 1.200 km2.
Pakaian
adat untuk laki-laki dani mengenakan holim/horem yang merupakan penutup bagian
kemaluan pria, bentuknya seperti selongsong dengan kerucut di bagian depan.
Koteka dipakai dengan cara diikatkan di pinggang hingga ke arah atas. Koteka
terbuat dari labu air tua yang dikeringkan karena memiliki sifat cenderung
keras dan tidak mudah membusuk. Bentuk dan ukuran koteka sendiri dibuat sesuai
kebutuhan, bukan berdasarkan pada kedudukan adat. Sebagai contohnya koteka
dengan bentuk kecil dan pendek umumnya dipakai saat bekerja sehari-hari di
ladang, maupun berburu hewan liar ke hutan. Koteka berukuran panjang dengan hiasan bulu dan gambar hanya dipakai saat ada upacara adat saja.
Terdapat dua jenis
pakaian adat untuk perempuan Dani, yakni sali dan yokal. Sali dikenakan oleh
gadis Papua yang belum menikah. Umumnya sali hanya mempunyai satu warna, yaitu
coklat. Bentuknya seperti rok wanita, namun terbuat dari daun sagu kering atau
kulit kayu. Bagian dalam sali dibuat lebih panjang dibandingkan luarnya.
Sedangkan cara menggunakannya adalah dililitkan di pinggang lalu diikat simpul.
Sedangkan yokal adalah pakaian berbentuk anyaman yang dibuat dari kulit pohon, dan hanya dipakai kaum perempuan yang sudah menikah. Warna yokal juga lebih mencolok, seperti bata dan kemerahan. Cara pakainya adalah dililit melingkar pinggang hingga bagian paha.
Tak bisa kita pungkiri
lagi kalau suku Dani dan seluruh suku yang mendiami Lembah Baliem di Papua
merupakan kekayaan budaya yang tak ternilai harganya dan haruslah di
lestarikan. Wisata budaya dapat digunakan untuk memperkenalkan keunikannya ke
seluruh penjuru dunia (mancanegara).
Saranku bagi kalian yang ingin lebih dekat mengenal suku dani atau ingin explore Papua di Wamena silahkan berkunjung dan berinteraksi dengan mereka di Lembah Baliem, mereka sangat terbuka dengan siapa saja kok. Sekian dulu ya tulisan dari aku. jika ada kesalahan dalam blog ini, informasi yang kurang atau pendapat yang berbeda. silahkan tulis di kolom komentar readwers.
Terimakasih atas waktunya yang sudah tertarik untuk membaca☺
Komentar
Posting Komentar